BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara formal pendidikan di Indonesia
diawali sejak proklamasi 17 agustus 1945, namun keberadaanya tidak bisa
dipisahkan dengan cita-cita dan praktek pendidikan masa sebelumnya. Kebudayaan
Indonesia sudah ada sejak jaman para
sejarah. Isi kebudayaan disampaikan oleh orang tua secara langsung kepada
anak-anak banyak yang meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya baik dalam
kepercayaan, agama, pewaris hidup ekonomi, maupun keterampilan-keterampilan
yang lain. Budaya tulis pertama kali dibawa oleh orang hindu yang disebut huruf
pallawa. Bersamaan dengan perkembangan peradaban hindu di jawa, berkembang pula
peradaban budha disumatra. Pendidikan zaman hindu dikenal dengan priode klasik.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa sejarah pendidikan didunia
barat?
2. Apa pendidikan sejarah di Indonesia?
C. TUJUAN MASALAH
1. Agar mahasiswa dapat mnegetahui
sejarah pendidikan didunia barat.
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui
sejarah pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
·
SEJARAH PENDIDIKAN DUNIA BARAT
Pendidikan berkembang melalui bermacam proses
yang terjadi pada masyarakat sesuai dengan sejarah berbagai negara di dunia
barat. Pada awalnya, lembaga yang memiliki tanggung jawab sebagai penyalur
sosialisasi adalah gereja dan keluarga. Lalu, lembaga pendidikan menggantikan
lembaga keluarga dan gereja sebagai penyalur sosialisasi kepada anak-anak.
Pendidikan di beberapa negara Eropa pada jaman pertengahan ditentukan oleh
otoritas mutlak melalui lisensi dari paus atau kaisar untuk mengajarkan misteri
dari hukum pengobatan dan teologi di universitas beraliran kristen (Vaizey,
1974:59). Pendidikan ber hubungan dengan kepercayaan bahwa seseorang akan
mencapai kebenaran dengan membaca kitab injil. Jadi, pendidikan terkesan dipaksakan
dan tidak boleh dijalankan tanpa petunjuk dari gereja dan sebagai perpanjangan
tangan untuk mengontrol masyarakat.
Sebelum pertengahan abad 19,
lembaga pendidikan dapat dimasuki berdasarkan pada kelas sosial. Sekolah umum
merupakan sekolah privat dengan biaya yang mahal (Miflen dan Mifflen, 1986:
12). Anak-anak dari keluarga menengah ke bawah sulit untuk sekolah, karena
masalah ketidakmampuan memenuhi biaya pendidikan.
Pendidikan dapat dikembangkan
berdasarkan adanya tuntutan penyediaan tenaga kerja untuk berbagai kebutuhan
negara. Pemerintah Inggris membuat aturan tentang pendidikan untuk anak anak
dari keluarga miskin pada tahun 1833, yaitu ketika factory act(peraturan
kepabrikan) seolah-olah memberikan larangan mengenai tenaga kerja anak (buruh
anak). Peraturan tersebut sulit dijalankan, karena tuntutan kebutuhan tenaga
kerja murah. Vaizey (1974:18) menyatakan bahwa pendidikan akan dianggap sukses
apabila rakyat berhasil dilatih untuk menjalankan sebuah pabrik, membangun
tentara, atau mengembangkan suatu sistem pertanian.
Pendidikan yang diajarkan dengan
cara berbeda antara kaum borjuis dan kaum pekerja. Anak-anak kaum borjuis
dididik untuk menjadi pemimpin dan juga diberikan pendidikan berdasarkan buku,
sedangkan anak-anak kaum pekerja dilatih untuik bekerja di dalam industri
produksi (Vaizey, 1974:36). Pendidikan dapat dimasuki berdasarkan pengkotakan
yang diatur sesuai dengan penempatan kelas sosial. Ketidak adilan pendidikan
semakin berkembang seiring kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi di Jerman dan
di Amerika Serikat membuat Inggris menempati posisi yang imperior. Negara
Jerman dan Amerika Serikat mempunyai sistem pendidikan yang lebih maju
dibandingkan Inggris (Mifflen dan Mifflen, 1986:13). Inggris mencoba ikut
bersaing dengan mengembangkan jurusan teknik dan ketrampilan disebabkan ingin
menyamai kedudukan perdagangan Negara Jerman dan Amerika. Pendidikan di ketiga
negera tersebut diperluas dengan cepat untuk memberikan keterampilan praktis
yang akan digunakan untuk para pekerja di berbagai bidang pekerjaan.
Pada perkembangannya, Siswa pada
lembaga-lembaga pendidikan menjadi semakin berkurang. Blyth (1972) melaporkan
sampai pertengahan tahun duapuluhan, hanya 12% dari mereka yang menikmati
sekolah-sekolah dasar dan empat dari seribu orang siswa yang melanjutkan
pendidikan ke tingkat selanjutnya (dikutif oleh Mifflen dan Mifflen, 1986:14).
Kenyataan tersebut terjadi tidak lepas karena anak-anak tidak mampu dibentuk
menjadi buruh. Pendidikan bagi anak-anak kaum buruh dibentuk dengan status dan
cara hidup tingkat buruh. Pendidikan dikembangkan demi mendapatkan tenaga kerja
murah.
Pendidikan tidak adil bagi
anak-anak miskin tidak hanya terjadi di Inggris, Amerika dan Jerman.
Ketidakadilan pada lembaga pendidikan juga terjadi di Kanada, terjadi diskriminasi
terhadap pribumi, anak-anak kaum buruh, orang kulit hitam, dan para imigran.
Katz (1973, dikutip oleh Mifflen dan Mifflen, 1986:56) mencatat bahwa
diperkenalkannya sekolah yang bebas dan wajib di Kanada bukan suatu reformasi
yang ditujukan untuk keuntungan pekerja golongan miskin. Kaum buruh juga
terkendala oleh biaya pendidikan yang tidak murah. Kaum buruh mengalami
kesulitan untuk memasuki lembaga pendidikan, karena tidak sanggup untuk
membayar biaya sekolah.
Jadi, pendidikan di beberapa
negara barat merupakan wujud dari permintaan akan tenaga kerja yang murah.
Kebutuhan yang mendesak dan persaingan kemajuan teknologi semakin membuat
orang-orang tidak mampu atau kaum buruh semakin tersingkir dari lembaga
pendidikan. Anak-anak kurang mampu dibentuk menjadi tenaga terampil, mereka
kesulitan menikmati pendidikan dan tidak bisa keluar dari pengkotakan, kaum
buruh menempati kelas bawah dan kaum borjuis menempati tingkat atas sebagai
golongan yang mampu memasuki lembaga pendidikan.
Ketidakaadilan akan pendidikan
juga dibawa oleh beberapa negara Eropa ke negara jajahannya. Pada sektor
ekonomi modern dan kaya, yang terpusat dikota-kota besar negera sedang
berkembang. Pendidikan ditentukan oleh suatu struktur yang mempunyai persamaan
besar dengan model pendidikan dari Negara penjajah (Vaizey, 1974: 62),
contohnya Negara India dan Pakistan ditemukan sekolah dasar siang yang besar
seperti model sekolah di Inggris untuk anak-anak dari pegawai negeri dan
masyarakat pengusaha, dan sekolah berasrama khusus untuk anak-anak kaum
bangsawan. Belanda juga mengembangkan model pendidikan berdasarkan kepentingan
sebagai negara penjajah di Indonesia
·
SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sejarah pendidikan yang akan diulas
adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia.
Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik
Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak
berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih
diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat
dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk
menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana
pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus
habis karena berbagai masalah peperangan.
Kesulitan keuangan dari Belanda
akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11,
Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan
biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar
pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa
dianggap cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang
dikenal dengancultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11).
Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena
digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja
sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.
Kehidupan petani yang selalu
ditekan bukan masalah yang baru. Petani menduduki posisi sosial yang selalu
dimanfaatkan, lahan pertanian merupakan tempat untuk menggantungkan pendapatan
dan hidup petani, terutama petani gurem. Petani menjadi sapi perahan yang harus
membayar pungutan resmi untuk membantu jalannya pemerintahan dan penyuplai
kebutuhan pejabat daerah (Mubyarto, 1987:24). Praktek tanam paksa sekitar tahun
1830-1870 (di Yogyakarta, Solo, dan Priangan sampai 1918) merupakan
kesengsaraan yang tiada taranya dan memiliki kesan yang paling hitam bagi
petani dari masa penjajahan Belanda.
Untuk melancarkan misi pendidikan
demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda
bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan
Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau
ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat
tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai
sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai
kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan
(Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu
menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti
perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari
lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan
golongan pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah Belanda lambat laun
seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia melalui politik
etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di
luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara
modern yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution,
1987:17). Politik etis terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif
ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk mencapai keuntungan yang
maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanagkan sebagai kedok
untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak terancam
gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk
penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis
menjadi program yang merugikan rakyat.
Pendidikan dasar berkembang sampai
tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia
Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis
ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan
dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan
tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak
mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan
sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru. Masalah lain yang paling
mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang
kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit
dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang
kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga
kerja yang murah.
Pendidikan dibuat oleh Belanda
memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar biasa untuk
penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk
Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki,
pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua
sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk.
Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat
bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat. Pemerintah Belanda berada dibawah
kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda.
Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai
pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut
pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai
perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang
menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang
sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di
pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan
dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu.
Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan
pengetahuan anak-anak Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat
sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk mengeluarkan biaya yang murah.
Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling
cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak
mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga
pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak
bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi
pengamankan hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya
serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yang memiliki kurikulum
bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut
dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan
mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah
kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik
akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan
dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang kelam. Penjajah membuat
pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah.
Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas
pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan
biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan
yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Belanda digantikan oleh kekuasaan
Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari
Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga
cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang
Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang.
Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada
masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu yang
mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia
raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan
indoktrinasi yang ketat.
Kebangkitan Asia menjadi slogan
omong kosong pada kenyataannya. Mubyarto (1987:36) menjelaskan pertanian
Indonesia diusahakan dapat mendukung usaha peperangan. Bibit baru dari Taiwan
memang berumur lebih pendek dengan hasil per hektar lebih tinggi dipaksakan
untuk ditanam dengan sistem larikan (dalam garis lurus) dan dengan menggunakan
pupuk hijau dan kompos. Petani menjadi membenci sistem baru tersebut. jaman
Jepang sebagai jaman penyiksaan yang kejam. Jadi, petani dibuat sebagai sumber
pendapatan yang terus dipaksa untuk manambah hasil panen. Penduduk sebagai alat
komoditas yang terus diperas.
Sejarah Belanda sampai Jepang
dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat
komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih
orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan
Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk
sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak
penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara
Indonesia setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan, perubahan
bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan
pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan
kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan
pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan
(Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta
huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan
sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga
mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa
jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program
tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar
32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang
dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan
pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk
menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi
pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Kemerdekaan Indonesia tidak
membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi lebih
baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling
terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada
jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut
bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan
swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian
dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun
tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat
mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB
8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel,
Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan
mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen
yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam
kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling
minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam
kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda,
Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga
kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak
penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai
keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga
kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan
bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program
yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan dapat dikembangkan
berdasarkan adanya tuntutan penyediaan tenaga kerja untuk berbagai kebutuhan
negara. Pemerintah Inggris membuat aturan tentang pendidikan untuk anak anak
dari keluarga miskin pada tahun 1833, yaitu ketika factory act(peraturan
kepabrikan) seolah-olah memberikan larangan mengenai tenaga kerja anak (buruh
anak). Peraturan tersebut sulit dijalankan, karena tuntutan kebutuhan tenaga
kerja murah. Vaizey (1974:18) menyatakan bahwa pendidikan akan dianggap sukses
apabila rakyat berhasil dilatih untuk menjalankan sebuah pabrik, membangun
tentara, atau mengembangkan suatu sistem pertanian.
Sejarah pendidikan yang akan
diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia.
Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik
Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak
berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar